Kamis, 07 Mei 2009

Water Seal Drainage Suction ETT

A. TUJUAN PEMASANGAN WATER SEAL DRAINAGE \

· Untuk mengeluarkan udara, cairan (darah,pus) dari rongga pleura, rongga thorax, dan mediastinum dengan menggunakan pipa penghubung.

· Mengembalikan tekanan negative pada rongga pleura.

· Mengembangkan kembali paru yang kolaps.

· Mencegah refluks drainage kembali ke dalam rongga dada.

· Mengalirkan / drainage udara atau cairan dari rongga pleura untuk mempertahankan tekanan negatif rongga tersebut.

B. TUJUAN TINDAKAN SUCTION ETT

· Untuk mempertahankan jalan nafas sehingga memungkinkan terjadinya proses pertukaran gas yang adekuat dengan cara mengeluarkan secret pada klien yang tidak mampu mengeluarkannya sendiri.


A. WATER SEAL DRAINAGE

WSD merupakan tindakan invasive yang dilakukan untuk mengeluarkan udara, cairan (darah,pus) dari rongga pleura, rongga thorax; dan mediastinum dengan menggunakan pipa penghubung.

1. Perubahan Tekanan Rongga Pleura

Tekanan Istirahat Inspirasi Ekspirasi
Atmosfir 760 760 760
Intrapulmoner 760 757 763
Intrapleural 756 750 756

2. Indikasi:


a. Pneumothoraks :
- Spontan > 20% oleh karena rupture bleb

- Luka tusuk tembus
- Klem dada yang terlalu lama
- Kerusakan selang dada pada sistem drainase
b. Hemothoraks :
- Robekan pleura
- Kelebihan antikoagulan
- Pasca bedah thoraks
c. Thorakotomy :
- Lobektomy
- Pneumoktomy
d. Efusi pleura : Post operasi jantung
e. Emfiema :
- Penyakit paru serius
- Kondisi inflamsi

3. Kontraindikasi Pemasangan:

a. Infeksi pada tempat pemasangan.

b. Gangguan pembekuan darah yang tidak terkontrol.

` 4. Komplikasi Pemasangan WSD:
a. Komplikasi primer : perdarahan, edema paru, tension pneumothoraks, atrial aritmia
b. Komplikasi sekunder : infeksi, emfiema

5. Tempat Pemasangan WSD
a. Bagian apex paru (apical)
- anterolateral interkosta ke 1-2
- fungsi : untuk mengeluarkan udara dari rongga pleura
b. Bagian basal
- postero lateral interkosta ke 8-9
- fungsi : untuk mengeluarkan cairan (darah, pus) dari rongga pleura

6. Jenis-jenis WSD
a. WSD dengan sistem satu botol

· Sistem yang paling sederhana dan sering digunakan pada pasien simple pneumothoraks

· Terdiri dari botol dengan penutup segel yang mempunyai 2 lubang selang yaitu 1 untuk ventilasi dan 1 lagi masuk ke dalam botol

· Air steril dimasukan ke dalam botol sampai ujung selang terendam 2cm untuk mencegah masuknya udara ke dalam tabung yang menyebabkan kolaps paru

· Selang untuk ventilasi dalam botol dibiarkan terbuka untuk memfasilitasi udara dari rongga pleura keluar

· Drainage tergantung dari mekanisme pernafasan dan gravitasi

· Undulasi pada selang cairan mengikuti irama pernafasan :
· Inspirasi akan meningkat
· Ekpirasi menurun


b. WSD dengan sistem 2 botol

· Digunakan 2 botol ; 1 botol mengumpulkan cairan drainage dan botol ke-2 botol water seal.

· Botol 1 dihubungkan dengan selang drainage yang awalnya kosong dan hampa udara, selang pendek pada botol 1 dihubungkan dengan selang di botol 2 yang berisi water seal

· Cairan drainase dari rongga pleura masuk ke botol 1 dan udara dari rongga pleura masuk ke water seal botol 2

· Prinsip kerjasama dengan ystem 1 botol yaitu udara dan cairan mengalir dari rongga pleura ke botol WSD dan udara dipompakan keluar melalui selang masuk ke WSD

· Bisasanya digunakan untuk mengatasi hemothoraks, hemopneumothoraks, efusi peural

c. WSD dengan ystem 3 botol

· Sama dengan sistem 2 botol, ditambah 1 botol untuk mengontrol jumlah hisapan yang digunakan

· Paling aman untuk mengatur jumlah hisapan

· Yang terpenting adalah kedalaman selang di bawah air pada botol ke-3. Jumlah hisapan tergantung pada kedalaman ujung selang yang tertanam dalam air botol WSD

· Drainage tergantung gravitasi dan jumlah hisapan yang ditambahkan

· Botol ke-3 mempunyai 3 selang :
· Tube pendek diatas batas air dihubungkan dengan tube pada botol ke dua
· Tube pendek lain dihubungkan dengan suction
· Tube di tengah yang panjang sampai di batas permukaan air dan terbuka ke atmosfer

B. SUCTION ETT

Suctioning atau penghisapan merupakan tindakan untuk mempertahankan jalan nafas sehingga memungkinkan terjadinya proses pertukaran gas yang adekuat dengan cara mengeluarkan secret pada klien yang tidak mampu mengeluarkannya sendiri. ( Ignativicius, 1999 ). Suction jangan dilakukan bila kita akan melakukan pemeriksaan analisa gas darah 15 menit -20 menit sebelumnya dan hindarkan bila hemodinamik tidak stabil.

suction_pump_my_life.jpg
Keteter Surtion
Kateter suction yang akan digunakan untuk membersihkan jalan nafas biasanya mempunyai bentuk dan ukuran yang berbeda idealnya kateter suction yang baik adalah efektif menghisap sekret dan resiko trauma jaringan yang minimal.
Diameter kateter suction bagian luar tidak boleh melebihi setengah dari diameter bagian dalam lumen tube diameter kateter yang lebih besar akan menimbulkan atelectasis sedangkan kateter yang terlalu kecil kurang efektif untuk menghisap sekret yang kental. Yang penting diingat adalah setiap kita melakukan suction, bukan sekretnya saja yang dihisap tapi Oksigen di paru juga dihisap dan alveoli juga bisa collaps
Ukuran kateter suction n biasanya dalam French Units (F)
Qs = ukuran diameter eksternal kateter suction yang diperlukan
Qa = diameter internal al1ificial airway dalam millimeter.
Qa x 3
Qs = ————– = F kateter
2
misalnya Qa = 8 mm
8 x 3
Qs = ———– = 12 F
2
Jadi ukuran kateter suction yang digunakan adalah nomor = 12 F
Teknik :
Setiap melakukan suction melalui artificial airway harus steril untuk mencegah kontaminasi kuman dan dianjurkan memakai sarung tangan yang steril. Karakter suction harus digunakan satu kali proses suction misalnya setelah selesai suction ETT dapat dipakai sekalian untuk suction nasofaring dan urofaring dan sesudah itu harus dibuang atau disterilkan kembali,
Ingat” Jangan sikali-kali memakai kateter suction untuk beberapa pasien
Peralatan lain yang perlu disediakan cairan antiseptik, vacuum suction, spuit 5-10 ml untuk spooling (lavage sollution) dan ambu bag (hand resuscitator) untuk oksigen 100%. Vacum Suction harus dicek dan diatur jangan terlalu tinggi karena dapat menyebabkan trauma jaringan dan jangan terlalu rendah ==> penghisapan tidak efektif
Lihat tabel I
Tabel 1 : Vacuum Setting for Suctioning Patients Based on age
Setting
Patients
60 – 80 mm hg
Infant
80 – 120 mm Hg
Children
120 – 150 mm Hg
Adult
Cairan antiseptik untuk mencuci tangan sebelum dan sesudah suction untuk mengurangi kontaminasi kuman
Sebelum suction, pasien harus diberi oksigen yang adekuat (pre oxygenasi) sebab oksigen akan menurun selama proses pengisapan. pasa pasien – pasien yang oksigennya sudah kurang. Pre oksigen isi dapat menghindari hipoksemia yang berat dengan segala akibatnya, sebab proses suction dapat menimbulkan hiposemia . Pre oksigen dapat diberikan dengan ambu bag dengan O2 100 % (0-10 liter) atau dengan memakai alat ventilator mekanik dengan O2 100%.
Setelah pre oksigensi yang cukup, masukan kateter suction ke dalam airway sampai ujungnya menotok tanpa hisap, kemudian tarik kateter suction sedikit, lakukan penghisapan dan pemutaran berlahan dan sambil menarik keluar untuk mencegah kerusakan jaringan dan memudahkan penghisapan secret.
Proses suction tidak boleh melebihi 10-15 detik di lumen artificial airway, total proses suction jangan melebihi 20 detik. Bila hendak mengulangi suction harus diberikan pre-oksigenasi kembali 6-10 kali ventilasi dan begitu seterusnya sampai jalan nafas bersih.
Jangan lupa monitor vital sign, ECG monitor ,sebelum melanjutkan suction, bila terjadi dysritmia atau hemodinamik tidak stabil, hentikan suction sementara waktu.
Suction harus hati-hati pada kasus-kasus tertentu misalnya penderita dengan orde paru yang berat dengan memakai respirator dan peep, tidak dianjurkan melakukan suction untuk sementara waktu sampai oedem parunya teratasi
Bila sputum kental dan sulit untuk dikeluarkan dapat dispooling dengan cairan NaCi 0,9% sebanyak 5-10 ml dimasukkan ke dalam lumen artificial airway sebelum di-suction, untuk bayi cukup beberapa tetes saja.
Dianjurkan setiap memakai artificial airway harus menggunakan humidifier dengan kelembaban I 100% pada temperatur tubuh untllk mengencerkan dan memudahkan pengeluaran sputum.
Suction melalui Naso Tracheal
Penghisapan melalui naso tracheal biasanya lebih sulit dan berbahaya bila dibanding dengan memakai via artifical airway dan tidak dianjutkan untuk rutin prosedur pada pembersihan jalan nafas, sebab dapat menyebabkan spasme taring, iritasi nasal dan perdarahan.
Pada kasus tertentu dimana artificial airway tidak ada, sedangkan retensi sputum banyak dapat dilakukan perlahan dengan memakai kateter suction yang sebelumnya diolesi pelcin (water soluble lumbricant) dan sementara vacuum dilepaskan, sambil mendengar suara nafas melaiui kateter bila sudah sampai di depan trachea kateter Suction diteruskan rapa saat inspirasi sambil menghisap, biasanya timbul rangsangan batuk sehingga sputum dapat keluar melalui suction atau ke rongga jalan natas bagian atas (nasotaring atau urotaring) sehingga mudah dikeluarkan melalui kateter suction dapat dilakukan spooling untuk mengencerkan sputum bila dilakukan berulang dapat dibantu dengan nasotaringeal tube untuk mengurangi trauma, jangan lupa memberikan reoksigenasi san monitor vital sign sesudah melakukan suction.
Ingat : Bila terjadi spasme taring pada waktu suction naso tracheal : Segera cabut kateter suction dan bantu dengan memakai ambu bag clan oksigen 100%, ini merupakan life treathening
Komplikasi :
Hipoxcmia , oleh kenana suction melalui artiticial aireway dapat menghisap oksigelen yang di alveoli dan menurunkan oksigen pada darah arteri yang dapat menimbulkan
tacicardi, aritmia/PVC, bradicardi
Untuk mencegah hipoxemia ini
• Oksigenasi yang baik sebelum dan sesudah suction
• Suction jangan melebihi I5 detik
• Ukuran diameter secction yang benar
Trauma Jaringan
Suncioning dapat menyebabkan trauma jaringan, iritasi dan pendarahan untuk pencegahan :
• Pakai karakter suction dengan jenis dan ukuran yang benar
• Teknik suction yang baik dan benar
Atelektasis
Atelektasis dapat terjadi bila pemakaian kateter sunction yang terlalu besar dan vacuum suction yang terallu kuat sehingga terjadi collaps paru atau atelektasis dan bisa terajdi persistent hipoxemia .
Untuk pencegahan :
• Pakai kateter suction dengan jenis dan ukuran yang benar
• Teknik suction yang baik dan benar
• Auskultasi pre dan post suction
Hipotensi :
Hipotensi yag terjadi pada sewaktu suction biasanya oleh karena : vagal stimulasi, batuk dan hipoxemia.
Vagal stimulasi menyebabkan bracardia, batuk menyebabkan penurunan venous return, sedangkan hipoxemia menyebabkan aritmia dan pheperial vasodilatasi.
Walaupun tekanan darah sistemik menurun, namun tekanan intra cranial pressure (ICP) tetap naik pada waktu silakukan section
Untuk pencegahan ;
• cek darah sebelum dan sesudah section
• Moditor yang ketat vital sign dan ECG.
Airways Contriction :
Airway Contriction terjadi olah karena adanya rangsangan mekanik lagsung dari suction terhadap mukosa saluran nafas sehingga terjadi broncho contriction dengan tanda adanya wheezing. Bila terjadi broncho contriction berikan broncho dilator, pada naso trachel suction dapat terjadi spame laring.

BAB III

PROSEDUR PEMASANGAN WSD

A. PEMASANGAN WSD

1. Prosedur pemasangan WSD
a. Pengkajian
- Memeriksa kembali instruksi dokter
- Mencek inform consent
- Mengkaji status pasien; TTV, status pernafasan
b. Persiapan pasien
- Siapkan pasien
- Memberi penjelasan kepada pasien mencakup :
· Tujuan tindakan
· Posisi tubuh saat tindakan dan selama terpasang WSD. Posisi klien dapat duduk atau berbaring
· Upaya-upaya untuk mengurangi rangsangan nyeri seperti nafas dalam, distraksi
· Latihan rentang sendi (ROM) pada sendi bahu sisi yang terkena
c. Persiapan alat
· Sistem drainage tertutup
· Motor suction
· Slang penghubung steril
· Botol berwarna putih/bening dengan kapasitas 2 liter, gas, pisau jaringan/silet, trokart, cairan antiseptic, benang catgut dan jarumnya, duk bolong, sarung tangan , spuit 10cc dan 50cc, kassa, NACl 0,9%, konektor, set balutan, obat anestesi (lidokain, xylokain), masker.
d. Pelaksanaan
Prosedur ini dilakukan oleh dokter. Perawat membantu agar prosedur dapat dilaksanakan dengan baik , dan perawat member dukungan moril pada pasien.
e. Tindakan setelah prosedur

· Perhatikan undulasi pada sleng WSD
Bila undulasi tidak ada, berbagai kondisi dapat terjadi antara lain :
- Motor suction tidak berjalan
- Slang tersumbat
- Slang terlipat
- Paru-paru telah mengembang
Oleh karena itu, yakinkan apa yang menjadi penyebab, segera periksa kondisi
ystem drainage, amati tanda-tanda kesulitan bernafas

· Cek ruang control suction untuk mengetahui jumlah cairan yang keluar

· Cek batas cairan dari botol WSD, pertahankan dan tentukan batas yang telah ditetapkan serta pastikan ujung pipa berada 2cm di bawah air

· Catat jumlah cairan yg keluar dari botol WSD tiap jam untuk mengetahui jumlah cairan yg keluar

· Observasi pernafasan, nadi setiap 15 menit pada 1 jam pertama

· Perhatikan balutan pada insisi, apakah ada perdarahan

· Anjurkan pasien memilih posisi yg nyaman dengan memperhatikan jangan sampai slang terlipat

· Anjurkan pasien untuk memegang slang apabila akan merubah posisi

· Beri tanda pada batas cairan setiap hari, catat tanggal dan waktu

· Ganti botol WSD setiap 3 hari dan bila sudah penuh. Catat jumlah cairan yang dibuang

· Lakukan pemijatan pada slang untuk melancarkan aliran

· Observasi dengan ketat tanda-tanda kesulitan bernafas, sianosis, emphysema subkutan

· Anjurkan pasien untuk menarik nafas dalam dan ystem cara batuk efektif

· Botol WSD harus selalu lebih rendah dari tubuh

· Yakinkan bahwa selang tidak kaku dan menggantung di atas WSD

· Latih dan anjurkan klien untuk secara rutin 2-3 kali sehari melakukan latihan gerak pada persendian bahu daerah pemasangan WSD

2. Perawatan pada klien yang menggunakan WSD:

a. Kaji adanya distress pernafasan & nyeri dada, bunyi nafas di daerah paru yg terkena & TTV stabil.
b. Observasi adanya distress pernafasan
c. Observasi :
- Pembalut selang dada
- Observasi selang untuk melihat adanya lekukan, lekukan yang menggantung, bekuan darah
- Sistem drainage dada
- Segel air untuk melihat fluktuasi inspirasi dan ekspirasi klien
- Gelembung udara di botol air bersegel atau ruang
- Tipe & jumlah drainase cairan. Catat warna & jumlah drainase, TTV & warna kulit
- Gelembung udara dalam ruang pengontrol penghisapan ketika penghisap digunakan
d. Posisikan klien :
- Semi fowler sampai fowler tinggi untuk mengeluarkan udara (pneumothorak)
- Posisi fowler untuk mengeluarkan cairan (hemothorak)
e. Pertahankan hubungan selang antara dada dan selang drainase utuh dan menyatu
f. Gulung selang yang berlebih pada matras di sebelah klien. Rekatkan dengan plester
g. Sesuaikan selang supaya menggantung pada garis lurus dari puncak matras sampai ruang drainase. Jika selang dada mengeluarkan cairan, tetapkan waktu bahwa drainase dimulai pada plester perekat botol drainase pada saat persiaan botol atau permukaan tertulis
ystem komersial yang sekali pakai
h. Urut selang jika ada obstruksi
i. Cuci tangan
j. Catat kepatenan selang, drainase, fluktuasi, TTV klien, kenyamanan klien
Cara mengganti botol WSD
a. Siapkan set yang baru
Botol berisi cairan aquadest ditambah desinfektan
b. Selang WSD di klem dulu
c. Ganti botol WSD dan lepas kembali klem
d. Amati undulasi dalam slang WSD


3. Pencabutan selang WSD

Indikasi pengangkatan WSD adalah bila :
a. Paru-paru sudah reekspansi yang ditandai dengan :
· Tidak ada undulasi
· Cairan yang keluar tidak ada
· Tidak ada gelembung udara yang keluar
· Kesulitan bernafas tidak ada
· Dari rontgen foto tidak ada cairan atau udara


· Dari pemeriksaan tidak ada cairan atau udara
b. Selang WSD tersumbat dan tidak dapat diatasi dengan spooling atau pengurutan pada slang.

B. PROSEDUR SUCTION

Hudak ( 1997 ) menyatakan persiapan alat scara umum untuk tindakan penghisapan adalah sebagai berikut ;

a. Kateter suction steril yang atraumatik

b. Sarung tangan

c. Tempat steril untuk irigasi

d. Spuit berisi cairan NaCl steril untuk irigasi trachea jika diindikasikan

( Ignativicius, 1999 ) menuliskan langkah-langkah dalam melakukan tindakan penghisapan adalah sebagai berikut :

1. Kaji adanya kebutuhan untuk dilakukannya tindakan penghisapan.

( usahakan tidak rutin melakukan penghisapan karena menyebabkan kerusakan mukosa, perdarahan, dan bronkospasme ).

2. Lakukan cuci tangan, gunakan alat pelindung diri dari kemungkinan

terjadinya penularan penyakit melalui secret.

3. Jelaskan kepada pasien mengenai sensasi yang akan dirasakan selama

penghisapan seperti nafas pendek, , batuk, dan rasa tidak nyaman.

4. Check mesin penghisap, siapkan tekanan mesin suction pada level

80 – 120 mmHg untuk menghindari hipoksia dan trauma mukosa

5. Siapkan tempat yang steril

6. Lakukan preoksigenasi dengan O2 100% selama 30 detik sampai 3 menit untuk mencegah terjadinya hipoksemia.

7. Secara cepat dan gentle masukkan kateter, jangan lakukan suction saat

kateter sedang dimasukkan

8. Tarik kateter 1-2 cm, dan mulai lakukan suction. Lakukan suction secara

intermitten , tarik kateter sambil menghisap dengan cara memutar. Jangan

pernah melakukan suction lebih dari 10 – 15 “.

9. Hiperoksigenasi selama 1-5 menit atau bila nadi dan SaO2 pasien normal.

10. Ulangi prosedur bila diperlukan ( maksimal 3 x suction dalam 1 waktu )

11. Tindakan suction pada mulut boleh dilakukan jika diperlukan, lakukan

juga mouth care setelah tindakan suction pada mulut.

12. Catat tindakan dalan dokumentasi keperawatan mengenai karakteristik

Sputum (jumlah, warna, konsistensi, bau, adanya darah ) dan respon


DAFTAR PUSTAKA

Eliastam, M., Sternbach, G., & Bresler, M. (1998). Buku saku : Penuntun kedaruratan medis. ( edisi 5 ). Jakarta ; EGC.

Hudak & Gallo.(1994). Critical care nursing : a holistic approach. (7th edition). Lippincott : Philadelphia..

Thelan, et.al. (1994). Critical care nursing ; Diagnosis and management. (2nd edition). St. louis ; Mosby Company.

Barry A, Shapiro, MD,DABa, FCCP, Cs : Clinical Application of Respitory Care, 49 –53

Laurence Martin, Md, FACP, FCEP. Pulmonary Psyology Inclinical Practise, 1987, 33 – 39

Rahardjo E, Penanganan gangguan Nafas dan Pernafasan Buatan Mekanik , 1997, 1- 5

Robert, M.K, PHD and James K. Stoller, MD., Current Respiratory Care, 1988,90 - 92

Resusitasi Jantung Paru

TUJUAN RESUSITASI JANTUNG PARU

Tujuan dari tindakan Resusitasi Jantung Paru adalah untuk

· Mengembalikan fungsi pernafasan dan atau sirkulasi pada henti nafas (respiratory arrest) dan atau henti jantung (cardiac arrest) pada orang dimana fungsi tersebut gagal total oleh suatu sebab yang memungkinkan untuk hidup normal selanjutnya bila kedua fungsi tersebut bekerja kembali

· Mencegah berhentinya sirkulasi atau berhentinya respirasi (nafas)

· Memberikan bantuan eksternal terhadap sirkukasi (fungsi jantung) dan ventilasi (fungsi pernafasan/paru) pada pasien/korban yang mengalami henti jantung atau henti nafas melalui Cardio Pulmonary Resuciation (CPR) atau Resusitasi Jantung Paru (RJP).

Resusitasi jantung paru tidak dilakukan pada semua penderita yang mengalami gagal jantung atau pada orang yang sudah mengalami kerusakan pernafasan atau sirkulasi yang tidak ada lagi kemungkinan untuk hidup, melainkan yang mungkin untuk hidup lama tanpa meninggalkan kelainan di otak5.

Keberhasilan resusitasi dimungkinkan oleh adanya waktu tertentu diantara mati klinis dan mati biologis. Mati klinis terjadi bila dua fungsi penting yaitu pernafasan dan sirkulasi mengalami kegagalan total. Jika keadaan ini tidak ditolong akan terjadi mati biologis yang irreversibel. Resusitasi jantung paru yang dilakukan setelah penderita mengalami henti nafas dan jantung selama 3 menit, presentasi kembali normal 75 %tanpa gejala sisa. Setelah 4 menit presentasi menjadi 50 % dan setelah lima menit menjadi 25 %. Maka jelaslah waktu yang sedikit itu harus dapat dimanfaatkan dengan sebaik mungkin.
Disamping mati klinis dan biologis dikenal dengan istilah mati social yaitu keadaan dimana pernafasan dan sirkulasi terjadi spontan atau secara buatan, namun telah mengalami aktifitas kortikal yang abnormal. Penderita dalam keadaan sopor atau koma tanpa kemungkinan untuk sembuh dan dinyatakan dalam keadaan vegetatif.

Agar resusitasi dapat berjalan maksimal tentu saja memerlukan penolong yang cekatan dan terampil. Waktu satu menit sangat berguna dalam memberikan pertolongan pertama padapenderita.

A. Definisi
Resusitasi jantung paru merupakan usaha yang dilakukan untuk mengembalikan fungsi pernafasan dan atau sirkulasi pada henti nafas (respiratory arrest) dan atau henti jantung (cardiac arrest) pada orang dimana fungsi tersebut gagal total oleh suatu sebab yang memungkinkan untuk hidup normal selanjutnya bila kedua fungsi tersebut bekerja kembali5.

B. Anatomi dan Fisiologi
Pemakaian oksigen dan pengeluaran karbon dioksida sangat diperlukan untuk menjalankan fungsi normal selular didalam tubuh. Pemakaian tersebut melalui suatu proses pernafasan sehingga secara harfiah pernafasan dapat diartikan pergerakan oksigen dari atmosfer menuju sel ke udara bebas. Proses pernafasan terdiri dari beberapa langkah dimana sistem pernafasan, sistem saraf pusat dan sistem kardiovaskuler memegang peranan yang sangat penting.

1. Anatomi dan Fisiologi Saluran Pernafasan
Saluran pernafasan udara mulai dari hidung hingga mencapai paru adalah : hidung, faring, laring, trakhea, bronkhus dan bronkhiolus1.
Saluran pernafasan dari hidung sampai bronkhiolus dilapisi oleh membran mukosa yang bersilia. Ketika udara masuk ke dalam rongga hidung udara tersebut disaring, dihangatkan dan dilembabkan. Kemudian udara mengalir ke faring menuju laring.
Laring merupakan rangkaian cincin tulang rawan yang dihubungkan oleh otak dan mengandung pita suara. Diantara pita suara terdapat ruang berbentuk seperti sepatu kuda yang panjangnya kurang lebih 5 inci. Permukaan posterior agak pipih dan letaknya tepat didepan esofagus.
Bronkhus utama kanan dan kiri tidak simetris, yang kanan lebih pendek, lebih lebar dan merupakan kelanjutan trakhea. Cabang utama bronkhus kanan dan kiri bercabang lagi menjadi bronkhus lobaris dan bronkhus segmentalis. Percabangan ini berjalan terus menjadi bronkhus yang ukurannya semakin kecil yang berakhir menjadi bronkhiolus terminalis.
Oksigen pada proses pernafasan dipindahkan dari udara luar ke dalam jaringan dan stadium pertama ventilasi, yaitu masuknya campuran gas ke dalam dan keluar paru. Transportasi masuknya campuran gas yang keluar masuk paru terdiri dari beberapa aspek1,yaitu:

a. Difusi gas antara alveolus dan kapiler paru, dan antara darah sistemik dan sel jaringan.
b. Distribusi darah dalam sirkulasi pulmoner dan penyesuaiannya dengan distribusi udara dalamalveolus.
c. Reaksi kimia dan fisik dari oksigen dan karbondioksida dengan darah.
Stadium yang ketiga adalah respirasi sel, yaitu saat dimana metabolit dioksida untuk mendapatkan energi dan karbondioksida terbentuk sebagai sampah metabolisme sel dan dikeluarkan oleh paru-paru.

2. Anatomi&Fisiologi Kardiovaskuler
Jantung merupakan salah satu organ yang terletak dalam mediastinum di rongga dada, yaitu diantara kedua paru. Perikardium sendiri terbagi menjadi dua, yaitu perikardium parietalis dan pericardium visceralis. Perikardium parietalis melekat pada tulang dada sebelah depan dan kolumna vertebralis bagian belakang, sedangkan ke bawah pada diafragma. Perikardium visceralis langsung melekat pada permukaan jantung. Jantung sendiri terbagi dari 3 lapisan yaitu epikardium (lapisan terluar), miokardium (lapisan dalam) dan endokardium (lapisan terdalam)1.
Ruangan jantung terbagi menjadi 2 bagian jantung bagian atas atrium dan ventrikel terletak sebelah bawah, yang secara anatomi mereka terpisah oleh suatu annulus fibrosus. Keempat katup jantung terletak dalam cincin ini. Secara fungsinal jantung terbagi menjadi dua yaitu alat pompa kanan dan alat pompa kiri yang memompa darah sistemik. Pembagian fungsi ini mempermudah konseptualisasi dari urutan aliran darah secara anatomi.
Fisiologi siklus jantung ventrikel kiri memompa darah ke aorta melalui katup semilunaris aorta, dari aorta darah akan dialirkan menuju arteri kemudian ke jaringan melalui cabang kecil arteri (arteriola), dari arteriola kemudian menuju ke venula. Kemudian akan melalui vena darah akan dialirkan ke atrium kanan, dari atrium kanan darah menuju ventrikel kanan melalui katup trikuspidalis, dari ventrikel kanan kemudian darah dipompa menuju arteri pulmonalis melewati katup semilunaris pulmonalis. Dari arteri pulmonalis ke pulmo. Dari pulmo darah keluar melalui vena pulmonalis ke atrium kiri, dari atrium kiri kemudian menuju ventrikel kiri melalui katup bicuspidalis atau mitralis. Demikian seterusnya darah akan mengalir melalui siklus tersebut.

B. Etiologi

Resusitasi jantung paru bertujuan untuk mengembalikan fungsi pernafasan dan atau sirkulasi, dan penanganan akibat henti nafas (respiratory arrest) dan atau henti jantung (cardiac arrest), yang mana fungsi tersebut gagal total oleh sebab yang memungkinkan untuk hidup normal5.
Adapun sebab henti nafas adalah :

1.Sumbatan jalan nafas
Bisa disebabkan karena adanya benda asing, aspirasi, lidah yang jatuh ke belakang, pipa trakhea terlipat, kanula trakhea tersumbat, kelainan akut glotis dan sekitarnya (sembab glotis, perdarahan).

2.Depresi pernafasan
Sentral : obat, intoksikasi, Pa O2 rendah, Pa CO2 tinggi, setelah henti jantung, tumor otak dan tenggelam.
Perifer : obat pelumpuh otot, penyakit miastenia gravis, poliomyelitis.
Sebab- sebab henti jantung4,5 :
Penyakit kardiovaskuler
Penyakit jantung sistemik, infark miokardial akut, embolus paru, fibrosis pada sistem konduksi (penyakit lenegre, sindrom adams stokes, noda sinus atrioventrikulaer sakit).
Kekurangan oksigen akut
Henti nafas, benda asing di jalan nafas, sumbatan jalan nafas oleh sekresi, asfiksia dan hipoksia.
Kelebihan dosis obat dan gangguan asam basa
Digitalis, quinidin, antidepresan trisiklik, propoksifen, adrenalin dan isoprenalin.
Kecelakaan
Syok listrik dan tenggelam.
Refleks vagal
Peregangan sfingter anii, penekanan atau penarikan bola mata.
Anestesi dan pembedahan.
Terapi dan tindakan diagnostik medis
Syok (hipovolemik, neurogenik, toksik dan anafilaktik)
Kebanyakan henti jantung yang terjadi di masyarakat merupakan akibat penyakit jantung iskemik, 40 % mati mendadak. Dari penyakit jantung iskemik terjadi dalam waktu satu jam setelah dimulainya gejala dan proporsinya lebih tinggi, sekitar 60 % diantara umur pertengahan dan yang lebih muda. Lebih dari 90 % kematian yang terjadi di luar rumah sakit disebabkan oleh fibrilasi ventrikuler, suatu kondisi yang potensial reversibel1.

Henti jantung dan henti nafas bukanlah kejadian yang sering terjadi walaupun di Rumah Sakit. Pada banyak kasus sebenarnya kematian mendadak sebagai akibat sroke infark, kelebihan dosis obat dan trauma hebat, dapat dicegah bila tindakan resusitasi dilakukan secara tepat. Setiap tenaga kesehatan harus menguasai teknik resusitasi jantung paru. Pada tahun 1974, The American Association menerbitkan penuntun pertama teknik bantuan hidup ini kemudian direvisi pada tahun 1980, tahun 1986 di negara lain mengikutinya1,4.
Pengajaran resusitasi jantung paru otak dibagi dalam 3 fase, yaitu : Bantuan Hidup Dasar (BDH), Bantuan Hidup Lanjut (BHL), Bantuan Hidup Jangka Lama. Dan dalam 9 langkah dengan menggunakan huruf abjad dari A sampai I2,5.
Fase I : untuk oksigenasi darurat, terdiri dari (A) Airway Control : penguasaan jalan nafas. (B) Breathing Support : ventilasi bantuan dan oksigen paru darurat. (C) Circulation Support : pengenalan tidak adanya denyut nadi dan pengadaan sirkulasi buatan dengan kompresi jantung, penghentian perdarahan dan posisi untuk syok.
Fase II : untuk memulai sirkulasi spontan terdiri dari (D) Drugs and Fluid Intravenous Infusion : pemberian obat dan cairan tanpa menunggu hasil EKG. (E) Electrocardioscopy (Cardiography) dan (F) Fibrillation Treatment : biasanya dengan syok listrik (defibrilasi).
Fase III : untuk pengelolaan intensif pasca resusitasi, terdiri dari (G) Gauging : menetukan dan memberi terapi penyebab kematian dan menilai sejauh mana pasien dapat diselamatkan. (H) Human Mentation : SSP diharapkan pulih dengan tindakan resusitasi otak yang baru dan (I) Intensive Care : resusitasi jangka panjang.
Dalam makalah ini hanya dibicarakan resusitasi jantung paru yang memang harus betul- betul dikuasai oleh setiap tenaga kesehatan terutama mereka yang bekerja di bidang anesthesia, unit darurat, kamar operasi dan kamar bersalin3.

· Fase I (Bantuan Hidup Dasar)

Bila terjadi nafas primer, jantung terus dapat memompa darah selama beberapa menit dan sisa O2 yang berada dalam paru darah akan terus beredar ke otak dan organ vital lain. Penanganan dini pada korban dengan henti nafas atau sumbatan jalan nafas dapat mencegah henti jantung. Bila terjadi henti jantung primer, O2 tidak beredar dan O2

Jantung berfungsi untuk memompa darah dan kerjanya sangat berhubungan erat dengan sistem pernafasan, pada umumnya semakin cepat kerja jantung semakin cepat pula frekuensi pernafasan dan sebaliknya.

Jantung dapat berhenti bekerja karena banyak sebab,diantaranya:

  1. Penyakit jantung
  2. Gangguan pernafasan
  3. Syok
  4. Komplikasi penyakit lain: Stroke
  5. Penurunan kesadaran

Beberapa istilah yang berhubungan dengan keadaan sistem pernafasan dan sistem sirkulasi yang terganggu:

MATI

Dalam istilah kedokteran dikenal dengan dua istilah untuk mati: mati klinis dan mati biologis

Mati Klinis

Tidak ditemukan adanya pernafasan dan denyut nadi.Mati klinis dapat reversible.Pasien /korban mempunyai kesempatan waktu selama 4-6 menit untuk dilakukan resusitasi,sehingga memberikan kesempatan kedua sistem tersebut berfungsi kembali.

Mati Biologis

Terjadi kematian sel, dimana kematian sel dimulai terutama sel otak dan bersifat irreversible, biasa terjadi dalam waktu 8 – 10 menit dari henti jantung.

Apabila Bantuan Hidup Dasar dilakukan cukup cepat, kematian mungkin dapat dihindari seperti tampak pada tabel di bawah ini:

Keterlambatan Kemungkinan berhasil

1 menit 98 dari 100

2 menit 50 dari 100

10 menit 1 dari 100

Tanda-tanda pasti bahwa pasien/korban sudah mengalami kematian :

Lebam mayat

Muncul sekitar 20 – 30 menit setelah kematian, darah akan berkumpul pada bagian tubuh yang paling rendah akibat daya tarik bumi. Terlihat sebagai warna ungu pada kulit.

Kaku mayat

Kaku pada tubuh dan anggota gerak setelah kematian. Terjadi 1- 23 jam kematian

Tanda lainnya : cedera mematikan

Cedera yang bentuknya begitu parah sehingga hampir dapat dipastikan pasien/korban tersebut tidak mungkin bertahan hidup.

Pasien/korban mengalami henti nafas dan henti jantung mempunyai harapan hidup lebih baik jika semua langkah dalam ”rantai penyelamatan” (Chain of Survival) dilakukan. Rantai ini diperkenalkan oleh AHA (American Heart Association) :

1. Kecepatan dalam permintaan bantuan

2. Kecepatan dalam melakukan RJP

3. Kecepatan dalam melakukan Defibrilasi

4. Kecepatan dalam pertolongan Hidup Lanjut di RS (Advance Cardiac Life Support)

INDIKASI

  1. Henti Nafas

Henti nafas adalah berhentinya pernafasan pada pasien/korban yang ditandai dengan tidak adanya gerakan dada dan aliran udara pernafasan dari pasien/korban. Merupakan kasus yang harus dilakukan Bantuan Hidup dasar. Henti nafas sendiri dapat disebabkan atau terjadi karena:

w Tenggelam

wStroke

wObstruksi jalan nafas

wEpiglositis

wOverdosis karena obat

wTersengat listrik

wInfark miokard

wTesambar petir

wKoma akibat berbagai macam kasus

Pada saat awal terjadinya henti nafas oksigen(O²) masih beredar dalam darah untuk beberapa menit dan jantung masih berdenyut sehingga darah masih disirkulasikan keseluruh tubuh termasuk organ vital lainya terutama otak. Bila pada keadaan ini diberikan bantuan nafas akan sangat bermanfaat dan dapat mencegah terjadinya henti jantung.

2. Henti Jantung

Pada keadaan henti jantung sirkulasi berhenti.Keadaan ini dengan cepat menyebabkan otak dan organ vital lainnya kekurangan oksigen( O²) dan biasanya ditandai dengan tanda awal nafas yang tersengal-sengal atau air hanger.

Tujuan dari bantuan hidup dasar sendiri, yaitu:

  1. Mencegah berhentinya sirkulasi atau berhentinya respirasi (nafas)
  2. Memberikan bantuan eksternal terhadap sirkukasi (fungsi jantung) dan ventilasi (fungsi pernafasan/paru) pada pasien/korban yang mengalami henti jantung atau henti nafas melalui Cardio Pulmonary Resuciation (CPR) atau Resusitasi Jantung Paru (RJP).

PROSEDUR MELAKUKAN RESUSUITASI JANTUNG PARU

Dalam melakukan RJP dibagi menjadi dua tahap:

a. Survei Primer ( Primary Survey)

Dapat/boleh dilakukan oleh setiap orang ( orang awam) yang sudah dilatih BHD

b. Survei Sekunder (Secondary survey)

Dilakukan oleh tenaga medis dan paramedis terlatih dan merupakan lanjutan dari survei primer (advance)

SURVEI PRIMER

Survei ini difokuskan pada bantuan nafas dan sirkulasi serta defibrilasi. Untuk dapat mengingat dengan mudah tindakan pada survei primer ini dirumuskan dengan huruf abjad : A, B, C, dan D.

A airway (jalan nafas)

B breathing (bantuan nafas)

C circulation (bantuan sirkulasi)

D defibrillation (terapi listrik)

1. Memperbaiki posisi pasien/korban

Tindakan BHD yang efektif bila pasien/korban dalam posisi telentang, berada pada permukaaan yang rata/keras dan kering.Bila ditemukan pasien/korban miring atau telungkup pasien/korban harus ditelentangkan dulu dengan membalikkan sebagai satu kesatuan yang utuh untuk mencegah cedera/komplikasi.

2. Mengatur posisi penolong

Posisi penolong berlutut sejajar dengan bahu pasien/korban agar pada saat memberikan batuan nafas dan bantuan sirkulasi penolong tidak perlu banyak pergerakan.

Cek kesadaran dan Aktifkan Sistem Emergensi

Langkah-langkah Dasar
Langkah-langkah dasar dalam PPGD dikenal dengan singkatan A-B-C-D ( Airway -
Breathing - Circulation - Disability ). Keempat poin tersebut adalah poin-poin yang harus
sangat diperhatikan dalam penanggulangan pasien dalam kondisi gawat darurat

Algortima Dasar PPGD
1.Ada pasien tidak sadar
2.Pastikan kondisi tempat pertolongan aman bagi pasien dan penolong
3.Beritahukan kepada lingkungan kalau anda akan berusaha menolong
4.Cek kesadaran pasien
a.Lakukan dengan metode AVPU
b.A –> Alert : Korban sadar jika tidak sadar lanjut ke poin V
c. V –> Verbal : Cobalah memanggil-manggil korban dengan berbicara keras di telinga
korban ( pada tahap ini jangan sertakan dengan menggoyang atau menyentuh
pasien ), jika tidak merespon lanjut ke P
d.P –> Pain : Cobalah beri rangsang nyeri pada pasien, yang paling mudah adalah
menekan bagian putih dari kuku tangan (di pangkal kuku), selain itu dapat juga
dengan menekan bagian tengah tulang dada (sternum) dan juga areal diatas mata
(supra orbital)
e.U –> Unresponsive : Setelah diberi rangsang nyeri tapi pasien masih tidak bereaksi
maka pasien berada dalam keadaan unresponsive
5.Call for Help, mintalah bantuan kepada masyarakat di sekitar untuk menelpon ambulans
(118) dengan memberitahukan :
a.Jumlah korban
b.Kesadaran korban (sadar atau tidak sadar)
c. Perkiraan usia dan jenis kelamin ( ex: lelaki muda atau ibu tua)
d.Tempat terjadi kegawatan ( alamat yang lengkap)
6.Bebaskan lah korban dari pakaian di daerah dada ( buka kancing baju bagian atas agar
dada terlihat
7.Posisikan diri di sebelah korban, usahakan posisi kaki yang mendekati kepala sejajar
dengan bahu pasien
8.Cek apakah ada tanda-tanda berikut :
a.Luka-luka dari bagian bawah bahu ke atas (supra clavicula)
b.Pasien mengalami tumbukan di berbagai tempat (misal : terjatuh dari sepeda motor)
c. Berdasarkan saksi pasien mengalami cedera di tulang belakang bagian leher
9.Tanda-tanda tersebut adalah tanda-tanda kemungkinan terjadinya cedera pada tulang
belakang bagian leher (cervical), cedera pada bagian ini sangat berbahaya karena disini
tedapat syaraf-syaraf yg mengatur fungsi vital manusia (bernapas, denyut jantung)
a.Jika tidak ada tanda-tanda tersebut maka lakukanlah Head Tilt and Chin Lift.

Chin lift dilakukan dengan cara menggunakan dua jari lalu mengangkat tulang dagu (bagian dagu yang keras) ke atas. Ini disertai dengan melakukan Head tilt yaitu menahan kepala dan mempertahankan posisi seperti figure

berikut. Ini dilakukan untuk membebaskan jalan napas korban.

b.Jika ada tanda-tanda tersebut, maka beralihlah ke bagian atas pasien, jepit kepala pasien dengan paha, usahakan agar kepalanya tidak bergerak-gerak lagi (imobilisasi) dan lakukanlah Jaw Thrust

Gerakan ini dilakukan untuk menghindari adanya cedera lebih lanjut pada tulang belakang bagian leher pasien.
10. Sambil melakukan a atau b di atas, lakukan lah pemeriksaan kondisi Airway (jalan napas) dan Breathing (Pernapasan) pasien.
11. Metode pengecekan menggunakan metode Look, Listen, and Feel

Look : Lihat apakah ada gerakan dada (gerakan bernapas), apakah gerakan tersebut simetris ?
Listen : Dengarkan apakah ada suara nafas normal, dan apakah ada suara nafas tambahan yang abnormal (bisa timbul karena ada hambatan sebagian)

Jenis-jenis suara nafas tambahan karena hambatan sebagian jalan nafas :
a.Snoring : suara seperti ngorok, kondisi ini menandakan adanya kebuntuan jalan napas bagian atas oleh benda padat, jika terdengar suara ini maka lakukanlah pengecekan langsung dengan cara cross-finger untuk membuka mulut (menggunakan 2 jari, yaitu ibu jari dan jari telunjuk tangan yang digunakan untuk chin lift tadi, ibu jari mendorong rahang atas ke atas, telunjuk menekan rahang bawah ke bawah). Lihatlah apakah ada benda yang menyangkut di tenggorokan korban (eg: gigi palsu dll). Pindahkan benda tersebut

b. Gargling : suara seperti berkumur, kondisi ini terjadi karena ada kebuntuan yang disebabkan oleh cairan (eg: darah), maka lakukanlah cross-finger(seperti di atas), lalu lakukanlah finger-sweep (sesuai namanya, menggunakan 2 jari yang sudah dibalut dengan kain untuk “menyapu” rongga mulut dari cairan-cairan).

c.Crowing : suara dengan nada tinggi, biasanya disebakan karena pembengkakan (edema) pada trakea, untuk pertolongan pertama tetap lakukan maneuver head tilt and chin lift atau jaw thrust saja
Jika suara napas tidak terdengar karena ada hambatan total pada jalan napas, maka dapat dilakukan :

a.Back Blow sebanyak 5 kali, yaitu dengan memukul menggunakan telapak tangan daerah diantara tulang scapula di punggung
b.Heimlich Maneuver, dengan cara memposisikan diri seperti gambar, lalu menarik tangan ke arah belakang atas.
c.Chest Thrust, dilakukan pada ibu hamil, bayi atau obesitas dengan cara memposisikan diri seperti gambar lalu mendorong tangan kearah dalam atas.

Feel : Rasakan dengan pipi pemeriksa apakah ada hawa napas dari korban ?
12. Jika ternyata pasien masih bernafas, maka hitunglah berapa frekuensi pernapasan pasien itu dalam 1 menit (Pernapasan normal adalah 12 -20 kali permenit)
13. Jika frekuensi nafas normal, pantau terus kondisi pasien dengan tetap melakukan Look Listen and Feel
14. Jika frekuensi nafas < 12-20 kali permenit, berikan nafas bantuan (detail tentang nafas bantuan dibawah)
15. Jika pasien mengalami henti nafas berikan nafas buatan (detail tentang nafas buatan dibawah

16. Setelah diberikan nafas buatan maka lakukanlah pengecekan nadi carotis yang terletak di leher (ceklah dengan 2 jari, letakkan jari di tonjolan di tengah tenggorokan, lalu gerakkan lah jari ke samping, sampai terhambat oleh otot leher (sternocleidomastoideus), rasakanlah denyut nadi carotis selama 10 detik.

17. Jika tidak ada denyut nadi maka lakukanlah Pijat Jantung(figure D dan E , figure F pada bayi), [detil tentang pijat jantung dijelaskan di bawah] diikuti dengan nafas buatan(figure A,B dan C)[detil tentang nafas buatan dijelaskan di bawah],ulang sampai 6 kali siklus pijat jantung-napas buatan, yang diakhiri dengan pijat jantung

18. Cek lagi nadi karotis (dengan metode seperti diatas) selama 10 detik, jika teraba lakukan Look Listen and Feel (kembali ke poin 11) lagi. jika tidak teraba ulangi poin nomer 17.
19. Pijat jantung dan nafas buatan dihentikan jika
a.Penolong kelelahan dan sudah tidak kuat lagi
b.Pasien sudah menunjukkan tanda-tanda kematian (kaku mayat)
c.Bantuan sudah datang
d.Teraba denyut nadi karotis
20. Setelah berhasil mengamankan kondisi diatas periksalah tanda-tanda shock pada pasien :
a.Denyut nadi >100 kali per menit

b.Telapak tangan basah dingin dan pucat
c.Capilarry Refill Time > 2 detik ( CRT dapat diperiksa dengan cara menekan ujung kuku pasien dg kuku pemeriksa selama 5 detik, lalu lepaskan, cek berapa lama waktu yg dibutuhkan agar warna ujung kuku merah lagi)
21. Jika pasien shock, lakukan Shock Position pada pasien, yaitu dengan mengangkat kaki pasien setinggi 45derajat dengan harapan sirkulasi darah akan lebih banyak ke jantung
22. Pertahankan posisi shock sampai bantuan datang atau tanda-tanda shock menghilang
23. Jika ada pendarahan pada pasien, coba lah hentikan perdarahan dengan cara menekan atau membebat luka (membebat jangan terlalu erat karena dapat mengakibatkan jaringan yg dibebat mati)
24. Setelah kondisi pasien stabil, tetap monitor selalu kondisi pasien dengan Look Listen and Feel, karena pasien sewaktu-waktu dapat memburuk secara tiba-tiba.
Nafas Bantuan
Nafas Bantuan adalah nafas yang diberikan kepada pasien untuk menormalkan frekuensi nafas pasien yang di bawah normal. Misal frekuensi napas : 6 kali per menit, maka harus diberi nafas bantuan di sela setiap nafas spontan dia sehingga total nafas permenitnya menjadi normal (12 kali).
Prosedurnya :
1. Posisikan diri di samping pasien
2. Jangan lakukan pernapasan mouth to mouth langsung, tapi gunakan lah kain sebagai pembatas antara mulut anda dan pasien untuk mencegah penularan penyakit2
3. Sambil tetap melakukan chin lift, gunakan tangan yg tadi digunakan untuk head tilt untuk menutup hidung pasien (agar udara yg diberikan tidak terbuang lewat hidung).
4. Mata memperhatikan dada pasien
5. Tutupilah seluruh mulut korban dengan mulut penolong
6.Hembuskanlah nafas satu kali ( tanda jika nafas yg diberikan masuk adalah dada pasien mengembang)
7.Lepaskan penutup hidung dan jauhkan mulut sesaat untuk membiarkan pasien menghembuskan nafas keluar (ekspirasi)
8.Lakukan lagi pemberian nafas sesuai dengan perhitungan agar nafas kembali normal
Nafas Buatan

Cara melakukan nafas buatan sama dengan nafas bantuan, bedanya nafas buatan diberikan pada pasien yang mengalami henti napas. Diberikan 2 kali efektif (dada mengembang )
Pijat Jantung
Pijat jantung adalah usaha untuk “memaksa” jantung memompakan darah ke seluruh tubuh, pijat jantung dilakukan pada korban dengan nadi karotis yang tidak teraba. Pijat jantung biasanya dipasangkan dengan nafas buatan (seperti dijelaskan pada algortima di atas)
Prosedur pijat jantung :
1. Posisikan diri di samping pasien
2. Posisikan tangan seperti gambar di center of the chest ( tepat ditengah-tengah dada)
3. Posisikan tangan tegak lurus korban seperti gambar

4.Tekanlah dada korban menggunakan tenaga yang diperoleh dari sendi panggul (hip joint)
5.Tekanlah dada kira-kira sedalam 4-5 cm (seperti gambar kiri bawah)
6. Setelah menekan, tarik sedikit tangan ke atas agar posisi dada kembali normal (seperti gambar kanan atas)
7. Satu set pijat jantung dilakukan sejumlah 30 kali tekanan, untuk memudahkan menghitung dapat dihitung dengan cara menghitung sebagai berikut :
Satu Dua Tiga EmpatSATU
Satu Dua Tiga Empat DUA
Satu Dua Tiga Empat TIGA
Satu Dua Tiga Empat EMPAT
Satu Dua Tiga Empat LIMA
Satu Dua Tiga Empat ENAM
8. Prinsip pijat jantung adalah :
a. Push deep
b. Push hard
c. Push fast
d. Maximum recoil (berikan waktu jantung relaksasi)
e. Minimum interruption (pada saat melakukan prosedur ini penolong tidak boleh diinterupsi)
Perlindungan Diri Penolong

Dalam melakukan pertolongan pada kondisi gawat darurat, penolong tetap harus senantiasa memastikan keselamatan dirinya sendiri, baik dari bahaya yang disebabkan karena lingkungan, maupun karena bahaya yang disebabkan karena pemberian pertolongan.
Poin-poin penting dalam perlindungan diri penolong :
1.Pastikan kondisi tempat memberi pertolongan tidak akan membahayakan penolong dan pasien
2.Minimasi kontak langsung dengan pasien, itulah mengapa dalam memberikan napas bantuan sedapat mungkin digunakan sapu tangan atau kain lainnya untuk melindungi penolong dari penyakit yang mungkin dapat ditularkan oleh korban
3.Selalu perhatikan kesehatan diri penolong, sebab pemberian pertolongan pertama adalah tindakan yang sangat memakan energi. Jika dilakukan dengan kondisi tidak fit, justru akan membahayakan penolong sendiri.